Aku jadi teringat kembali ke pengalaman pertamaku naik gunung dulu. Waktu itu, aku memilih mendaki Gunung Prau, yang sering disebut-sebut sebagai gunung yang ramah untuk pemula. Namun kenyataannya, tanjakannya luar biasa juga dan cukup menguras tenaga. Apalagi kalau membayangkan Rinjani, yang sejak dulu terkenal bukan gunung untuk pemula karena jalurnya panjang, terjal, dan cuacanya yang bisa berubah sangat cepat.
Naik gunung memang bukan cuma soal keberanian, tetapi soal persiapan yang benar-benar matang. Kita harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang gunung yang akan kita daki, jalur pendakian dan kondisi cuaca. Fisik juga harus dalam kondisi prima, karena mendaki gunung benar-benar menguras tenaga dan mental. Belum lagi perlengkapan yang harus lengkap dan sesuai standar keamanan, mulai dari pakaian, sepatu khusus hiking, tenda, sleeping bag, peralatan masak, logistik, sampai obat-obatan.
Selain semua itu, yang tak kalah penting adalah kemampuan dasar bertahan hidup di alam bebas. Karena di gunung, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Alam itu indah, tapi sekaligus liar dan tak terduga. Jalur bisa longsor, cuaca bisa tiba-tiba berubah ekstrem, atau kita bisa saja tersesat. Semua risiko itu benar-benar nyata.
Tapi meskipun berat, aku harus mengakui bahwa berhasil mencapai puncak gunung adalah salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku. Ada rasa puas yang luar biasa ketika akhirnya berdiri di puncak, melihat lautan awan terbentang, merasakan angin dingin yang menampar wajah, dan memandangi keindahan ciptaan Tuhan dari ketinggian. Perasaan itu susah sekali dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya semua rasa capek, pegal, dan lelah terbayar lunas. Ada rasa bangga pada diri sendiri karena bisa melampaui batas, rasa syukur karena diberikan kesempatan menikmati keindahan alam yang begitu megah, dan rasa takjub yang sulit digambarkan.
Memang ada rasa candu juga. Ada keinginan untuk terus mendaki gunung-gunung lain, mengejar puncak demi puncak. Tapi akhirnya aku memutuskan cukup dua gunung saja yang aku singgahi yaitu Prau dan Papandayan. Dua-duanya meninggalkan kesan mendalam buatku. Kalau ditanya sekarang, aku tidak ingin mengulanginya lagi. Bukan karena tidak suka, tapi karena aku tahu tantangan dan risiko yang harus dihadapi, dan aku merasa sudah cukup mendapatkan pengalaman yang tak ternilai dari dua pendakianku itu.
Namun begitu, perasaan saat mendaki, khususnya Prau sebagai pengalaman pertamaku, masih sangat membekas. Sampai sekarang aku masih bisa membayangkan suasana waktu itu, udara dingin yang menggigit, lelahnya kaki menapak jalur menanjak, suara teman-teman yang saling menyemangati, dan rasa haru saat akhirnya melihat matahari terbit di puncak. Semua itu menjadi memori indah yang tak tergantikan.
Yang pasti, menurutku, mendaki gunung bukan soal gaya-gayaan atau sekadar pamer foto di media sosial. Mendaki gunung, bagi aku, adalah tentang bagaimana kita belajar mengalahkan ego, belajar konsisten melangkah meski lelah, pantang menyerah saat jalur terasa tiada habisnya, merasakan kebersamaan dan solidaritas dengan teman-teman pendaki, dan yang terpenting, belajar lebih banyak mensyukuri setiap hal kecil dalam hidup.
Gunung selalu mengajarkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil di hadapan kebesaran alam dan Tuhan. Dan itulah, mungkin, yang membuat pengalaman mendaki gunung selalu begitu berkesan dan tak terlupakan.