Jumat, 27 Juni 2025

Cerita Prau, Renungan Seorang Pendaki Pemula

Belakangan ini ramai sekali diberitakan tentang pendaki asal Brazil yang meninggal di Gunung Rinjani. Aku benar-benar turut berduka cita, bukan hanya untuk almarhumah, tetapi juga untuk semua pendaki yang pernah gugur saat mendaki gunung. Setiap mendengar kabar seperti ini, rasanya selalu campur aduk, sedih, prihatin, sekaligus membuatku merenung betapa mendaki gunung memang bukan hal sepele.

Aku jadi teringat kembali ke pengalaman pertamaku naik gunung dulu. Waktu itu, aku memilih mendaki Gunung Prau, yang sering disebut-sebut sebagai gunung yang ramah untuk pemula. Namun kenyataannya, tanjakannya luar biasa juga dan cukup menguras tenaga. Apalagi kalau membayangkan Rinjani, yang sejak dulu terkenal bukan gunung untuk pemula karena jalurnya panjang, terjal, dan cuacanya yang bisa berubah sangat cepat.

Naik gunung memang bukan cuma soal keberanian, tetapi soal persiapan yang benar-benar matang. Kita harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang gunung yang akan kita daki, jalur pendakian dan kondisi cuaca. Fisik juga harus dalam kondisi prima, karena mendaki gunung benar-benar menguras tenaga dan mental. Belum lagi perlengkapan yang harus lengkap dan sesuai standar keamanan, mulai dari pakaian, sepatu khusus hiking, tenda, sleeping bag, peralatan masak, logistik, sampai obat-obatan.

Selain semua itu, yang tak kalah penting adalah kemampuan dasar bertahan hidup di alam bebas. Karena di gunung, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Alam itu indah, tapi sekaligus liar dan tak terduga. Jalur bisa longsor, cuaca bisa tiba-tiba berubah ekstrem, atau kita bisa saja tersesat. Semua risiko itu benar-benar nyata.

Tapi meskipun berat, aku harus mengakui bahwa berhasil mencapai puncak gunung adalah salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku. Ada rasa puas yang luar biasa ketika akhirnya berdiri di puncak, melihat lautan awan terbentang, merasakan angin dingin yang menampar wajah, dan memandangi keindahan ciptaan Tuhan dari ketinggian. Perasaan itu susah sekali dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya semua rasa capek, pegal, dan lelah terbayar lunas. Ada rasa bangga pada diri sendiri karena bisa melampaui batas, rasa syukur karena diberikan kesempatan menikmati keindahan alam yang begitu megah, dan rasa takjub yang sulit digambarkan.

Memang ada rasa candu juga. Ada keinginan untuk terus mendaki gunung-gunung lain, mengejar puncak demi puncak. Tapi akhirnya aku memutuskan cukup dua gunung saja yang aku singgahi yaitu Prau dan Papandayan. Dua-duanya meninggalkan kesan mendalam buatku. Kalau ditanya sekarang, aku tidak ingin mengulanginya lagi. Bukan karena tidak suka, tapi karena aku tahu tantangan dan risiko yang harus dihadapi, dan aku merasa sudah cukup mendapatkan pengalaman yang tak ternilai dari dua pendakianku itu.

Namun begitu, perasaan saat mendaki, khususnya Prau sebagai pengalaman pertamaku, masih sangat membekas. Sampai sekarang aku masih bisa membayangkan suasana waktu itu, udara dingin yang menggigit, lelahnya kaki menapak jalur menanjak, suara teman-teman yang saling menyemangati, dan rasa haru saat akhirnya melihat matahari terbit di puncak. Semua itu menjadi memori indah yang tak tergantikan.

Yang pasti, menurutku, mendaki gunung bukan soal gaya-gayaan atau sekadar pamer foto di media sosial. Mendaki gunung, bagi aku, adalah tentang bagaimana kita belajar mengalahkan ego, belajar konsisten melangkah meski lelah, pantang menyerah saat jalur terasa tiada habisnya, merasakan kebersamaan dan solidaritas dengan teman-teman pendaki, dan yang terpenting, belajar lebih banyak mensyukuri setiap hal kecil dalam hidup.

Gunung selalu mengajarkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil di hadapan kebesaran alam dan Tuhan. Dan itulah, mungkin, yang membuat pengalaman mendaki gunung selalu begitu berkesan dan tak terlupakan.

Senin, 23 Juni 2025

Pejalan Nagari Walk: Menyusuri Keindahan Koto Gadang

Tanggal 22 Juni 2025 kemarin, saya mengikuti sebuah event yang sangat berkesan: Pejalan Nagari Walk. Acara ini diselenggarakan di Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam, dan mengajak para peserta berjalan kaki sambil menikmati panorama alam dan budaya lokal yang memikat.

Event ini terbagi ke dalam tiga kategori jarak tempuh: 5 km, 10 km, dan 20 km. Menariknya, acara ini juga dihadiri oleh Ibu Mutia Hatta, putri dari proklamator kita, Bung Hatta, yang turut serta berjalan dalam kategori 5 km. Sebuah momen langka yang memberi kesan mendalam pada event ini.

Awal Mula Ikut

Saya pribadi mengikuti event ini karena belakangan memang sedang suka jalan kaki. Awalnya saya iseng mencari tahu apakah ada event jalan kaki yang tidak melibatkan lari, karena terus terang saya belum sanggup untuk lari jarak jauh. Setelah berselancar di Instagram, saya menemukan akun Pejalan Nagari Walk. Ternyata mereka akan menggelar event untuk kedua kalinya. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftar.

Saya memilih kategori 5 km terlebih dahulu karena saat itu target harian saya baru sekitar 5–7 km. Jadi, saya pilih yang aman dulu. Tapi ternyata… acaranya seru banget! Nyeselnya cuma satu: kenapa gak ambil yang 10 km sekalian?

Melihat unggahan peserta lain, rute 10 km ternyata lebih menantang dan menarik—melewati tanjakan, pematang sawah, dan bahkan menyebrangi sungai. Tapi gak apa-apa, jadi motivasi untuk event berikutnya. InsyaAllah kalau ada kesempatan lagi, saya ingin coba kategori 10 km. Bahkan untuk 20 km pun mungkin saja dicoba suatu hari nanti, tentu dengan persiapan fisik dan latihan rutin.

Pengalaman Jalan 5 KM di Koto Gadang

Walau “hanya” 5 km, jalurnya tetap seru dan penuh kejutan menyenangkan. Kami berjalan santai dengan pemandangan Gunung Singgalang di kejauhan, sawah hijau membentang, serta deretan rumah-rumah warga yang menarik perhatian.

Yang paling membuat saya kagum adalah arsitektur rumah-rumah warga di Koto Gadang. Banyak yang masih mempertahankan gaya bangunan lama peninggalan zaman Belanda. Meski sebagian sudah diperbaiki, namun ciri khas klasiknya masih kental terasa. Pemandangan ini benar-benar membawa saya seperti bernostalgia ke masa lalu.

Di kampung saya sendiri, rumah-rumah semacam itu sudah hampir punah. Kalaupun masih ada, biasanya hanya satu atau dua yang kondisinya kurang terawat. Beda sekali dengan Koto Gadang yang menjaga warisan tersebut dengan bangga.

Tradisi & Budaya yang Hidup

Sepanjang perjalanan, kami juga melewati banyak kerajinan perak dan sulaman khas Koto Gadang. Nagari ini memang sudah lama dikenal sebagai pusat kerajinan tangan yang bernilai tinggi. Kami bahkan melewati rumah kelahiran dua tokoh besar bangsa ini, yakni Hj. Agus Salim dan Rohana Kudus.

Acara ini tidak hanya soal olahraga, tapi juga benar-benar memamerkan kekayaan budaya lokal. Ada pertunjukan seni tradisional, kuliner khas Minang—terutama Itiak Lado Mudo yang menggugah selera, serta beragam camilan lokal yang dibagikan ke peserta. Yang paling unik, medali finisher yang kami terima terbuat dari kayu surian, hasil produksi lokal yang punya nilai tersendiri.


Harapan untuk Event Selanjutnya

Buat saya, Pejalan Nagari Walk bukan sekadar event jalan kaki. Ini adalah perpaduan antara olahraga, healing, budaya, dan wisata lokal dalam satu paket. Saya pulang bukan hanya dengan badan yang segar, tapi juga hati yang penuh rasa syukur dan kagum pada alam dan tradisi yang masih lestari di Koto Gadang.

Saya harap akan semakin banyak event serupa di masa mendatang. Karena lewat acara seperti ini, kita tidak hanya sehat, tapi juga semakin mengenal dan mencintai negeri sendiri.